GUMUL
GUMUL
(Bagian kecil dari buku yang akan saya selesaikan)
Siapa
bilang sendiri itu sunyi. Sendiri bukan sepi. Sendiri bisa juga hiruk pikuk.
Dalam sendiri, aku sangat menikmati alunan suara indah dari group musik
favoritku Mocca atau lembutnya suara Ari Reda yang menyanyikan sajak-sajak puisi
dari Bapak Sapardi Djokodamono. Aku juga bisa mendengar putaran kipas pendingin
laptop yang berdesing, beradu tenaga dengan panas yang menghabiskan energi dari
pasta pendinginnya. Di kamar mandi, suara tetes air yang jatuh perlahan-lahan
ke dalam ember juga masih terdengar. Kucing liar kuning yang kurus itu masih
saja suka berkeliaran di atas atap kamar kost, melewati atap kamar yang satu ke
atap kamar yang satu lagi, lagi dan lagi berjalan ia dengan seenaknya
menciptakan kebisingan. Sendiri bukan berarti sepi. Sendiri adalah hiruk pikuk
yang mungkin lebih bising dari ramai yang dibicarakan orang-orang.
Apakah
kamu pernah tersesat dalam sunyi? Atau tersesat dalam ramai? Atau tersesat
dalam dirimu sendiri? Aku mungkin sedang tersesat sekarang, entahlah apa karena
sunyi ini atau ramai yang bingar atau bahkan mungkin sedang tersesat dalam
diriku sendiri? entahlah.. tapi jiwaku sedang gelisah di dalam ragaku.
Aku
sebenarnya tidak sepenuhnya mengerti tentang apa yang aku inginkan dalam hidup.
Kata mereka aku terlalu rumit. Jika orang-orang mengatakan, biarlah hidup
seperti air sungai yang mengalir, mengikuti laju air dan kelok batang sungai,
dan berakhir di muara atau lautan yang luas, aku bingung, haruskah begitu? Jika
aku hanya terus mengalir sementara aku melihat sesuatu yang indah di perjalanan
melaju ku, kenapa aku tidak singgah untuk menikmatinya? Jika aku mengalir dan
akhirnya bermuara di lautan bebas, bukankah aku harus mengalami evavorasi,
melayang ke langit, menjadi uap air yang bergelantungan menjadi awan-awan di
langit biru, melihat-lihat bumi dari atas kemudian saling bergesekan dengan
awan lain, saling membagi elektron atau mungkin jika kami merasa cocok untuk
bersatu, kami menyatukan diri menjadi gumpalan awan besar dengan massa
tertentu. Jika sudah mencapai titik jenuh, kami jatuh lagi menjadi hujan atau
setidaknya gerimis yang memeluk tanah, lautan, batu-batu, hutan, bunga, pohon
dan rumput-rumput atau bahkan atap rumah atau sekedar jatuh di jalanan atau
paret
yang
kotor, atau sungai yang tercemar, atau di atas pekuburan, mungkin juga hamparan
sawah yang hijau atau di atas atap hotel berbintang, atau jatuh lagi di hulu
sungai yang sama, mengalir lagi pada
sungai yang sama, melewati kelokan-kelokan sungai yang sama dan sampai pada
muara yang sama dan lautan yang sama pula. Ahhh... siklus yang aneh, ribet,
menyenangkan, sesuatu yang baru, atau bahkan membosankan karena hal yang
itu-itu saja, seolah berubah tapi tak sepenuhnya berubah. Seolah baru tapi tak
sepenuhnya baru.
Aku
pikir, di bawah matahari tidak ada yang benar-benar baru atau yang benar-benar
berubah. Hanya ada sesuatu yang terlihat seolah-olah baru padahal tidak
sepenuhnya baru dan seolah-olah berubah padahal tidak sepenuhnya berubah.
Pernah tidak mendengar hukum kekekalan energi? Katanya energi tidak dapat
diciptakan dan dimusnahkan. Yahh... mungkin begitulah dengan hidup, hanya
seperti energi yang diubah dari satu bentuk ke bentuk lain, tetapi namanya
tetaplah energi tidak dapat dicipta dan tidak dapat dimusnahkan hanya dapat
diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Jadi jika tidak ada yang benar-benar
baru dan benar-benar berubah, kenapa harus
berlelah-lelah di bawah matahari? Bukankah semua seperti menjaring angin?
Mengejar yang satu dan meninggalkan yang satu, memperoleh yang satu dan
kehilangan yang satu, mengetahui yang satu dan mengetahui bahwa tidak
mengetahui yang satunya lagi, mencari yang satu, mendapatkan yang satu dan
kehilangan yang satunya. Hidup kemudian mati. Terus apa hebatnya?
Ahhh...
aku mungkin sedang tersesat dalam diriku sendiri.
Komentar
Posting Komentar