" Judul masih dirahasiakan" (Cuplikan cerpen yang akan saya selesaikan dalam waktu dekat)
(Cuplikan cerpen yang akan saya selesaikan dalam waktu dekat)
Di bangku kayu itu ia duduk, duduk
sendiri, menikmati hiruk pikuk dalam bungkusan sepi. Sesekali ia menghembuskan
nafasnya bersamaan dengan suara yang dikeluarkan dari bibir merah yang sedikit terbuka
seolah ia melepaskan juga beban dan semua gumul di hatinya. Mungkin ia berpikir
jika beban itu akan serta merta ikut keluar bersama dengan nafas dan hembusan
yang menggetarkan bibir merahnya itu. Matanya memandang ke sekitar, ada bundaran
kolam di depannya yang tidak benar-benar bundar seutuhnya, beberapa teratai
congkak mengapung di atas permukaan airnya yang tenang, bunga-bunganya mekar,
indah memang, maka ia terlihat congkak dalam keindahanya itu. Diredamnya kah
gelombang air kolam itu? Bahkan angin yang bertiup seolah tak mampu membuatnya
bergeming merambatkan getarannya agar timbul riak-riak pada permukaannya. Ahh,,
benar-benar tenang kolam itu.
Dilihatnya rumput-rumput hijau dan
beberapa jenis bunga yang menghiasi pinggir-pinggir kolam. Kuning, merah dan
beberapa warna lain yang kontras dari hijaunya daun-daun yang melatari.
Sebagian mereka mengembang dan mekar, sebagian masih menguncup dan sebagian
lagi bahkan telah jatuh dan layu, jatuh dari tangkai yang tak bisa menahan
kelopaknya itu, bercecer terletak diatas rumput manis hijau dan tanah yang tak
tertutupi rumput.
Ia berusaha mendengarkan kicauan
burung-burung gereja yang bercengkrama di atas dahan dan ranting-ranting pohon.
Mungkin burung-burung itu sedang ada acara perkumpulan keluarga, perjodohan
atau bahkan mereka sedang pacaran rame-rame atau bahkan sedang rapat membicarakan
suatu urusan penting dalam dunia yang hanya dimengerti oleh burung-burung
gereja itu. Tiba-tiba ia menginginkan ada suatu kekuatan yang muncul pada
dirinya. Berharap ia adalah seorang indigo yang memiliki sesuatu yang orang awam
tidak miliki. Seandainya saja secara tiba-tiba ia dapat mengerti arti kicauan
burung-burung dan mengerti bisik dari daun-daun bunga dan pohon yang bergerak.
Apakah bunga-bunga dan pohon-pohon itu sedang bercengkrama dengan angin genit yang
menyentuhnya itu? Sehingga mereka kegirangan dan menari dengan gerak yang hanya
dimengerti oleh mereka sendiri. Ahhh.. benar-benar hiruk pikuk yang terbungkus
dalam sepi.
Diangkatnya kakinya ke atas bangku
kayu itu, dilipatnya sehingga kedua lututnya menyatu. Ditenggelamkannya
kepalanya sedemikian rupa, menunduk mengarah bertumpuh pada lututnya. Dia
semakin gelisah dalam kebisingan yang beradu dalam sepi itu. Jiwanya gelisah
dalam raga. Lelah yang ia rasakan, entah datang dari mana. Beban beratnya itu
entah dari mana menekan. Terasa tekanannya ke seluruh tubuhnya, menyerang
secara turbulen dan ia semakin merasa dayanya tak cukup sanggup melawan semua
tekanan itu.
Diangkatnya lagi kepalanya yang
bertumpuh pada lututnya yang menyatu di lingkaran tangannya yang memeluk.
Diarahkannya pandangnya ke depan. Dia tidak tau apa yang dia amati. Air matanya
jatuh satu-satu, semakin deras dan bercucuran jatuh mengikuti perintah gaya
gravitasi bumi. Ia menangis, menangis tanpa suara, tanpa raungan dan teriak
kesakitan, hanya saja air matanya tetap saja terus jatuh bercucuran. Hatinya
dicabik-cabik sunyi, di obrak abrik hiruk pikuk sepi. Meraung-raung ia dalam
diam, menjerit-jerit dalam sepi. Sakit yang ia rasakan diwakilkan oleh tetesan
air mata yang tak berhenti bercucuran. Setelah beberapa saat bergulat dengan
waktu, ia kalah. Ia akhirnya menangis terisak. Tersendat-sendat isaknya beradu
dengan nafas terengah, melawan semua tekanan yang menindihnya. Ia kalah dan ia
menangis. (BERSAMBUNG)
Komentar
Posting Komentar