S u n e i d e s i s “Suara Hati”
S u n e i d e
s i s
“Suara Hati”
Kenapa saya tiba-tiba sangat tertarik
dengan kata Suneidesis ?
Suneidesis adalah kata yang berasal dari bahasa
Yunani, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya adalah; nurani,
kehendak hati, maksud hati, kesadaran, dan sebagainya. J. Wesley Brill (2003)
lebih senang dan merasa lebih tepat jika kata ini diartikan sebagai “suara
hati”.
Banyak orang yang mengatakan bahwa
suara hati adalah suara Tuhan. Suara hati adalah nurani yang murni. Kata yang
berkaitan dengan arti suneidesis ini
seringkali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan pernah sekali waktu,
saya mengikuti suatu matakuliah umum yang dibawakan oleh ibu menteri keuangan,
Ibu Sri Mulyani, melalui chanel Youtube,
beliau mengatakan “Hati nurani tidak akan pernah terjajah oleh mayoritas.” Dari
semua kalimat yang saya dengar, kalimat inilah yang paling menarik perhatian
saya. Saya sangat tersentuh oleh kalimat ini dan semakin lebih lagi setelah
saya membaca buku J. Wesley Brill (2003)
yang berjudul “Dasar Yang Teguh”.
J. Wesley Brill mengatakan bahwa, suara hati bukanlah suara Allah yang
berbicara di dalam hati manusia, melainkan bahwa suara hati adalah kuasa dalam
hati manusia untuk mendengar suara Allah. Suara hati adalah kuasa dalam hati manusia yang menghakimi pikiran dan
kelakuannya serta mengatakan mana yang benar dan mana yang salah atau berdosa.
Jika kita mentaati suara hati itu, suara itu menjadi semakin jelas, dan jika
kita mengabaikannya, suara itu menjadi lemah dan lama kelamaan akan hilang.
Pernah juga sekali waktu, saya
mendengar kotbah seorang pendeta di dalam gereja yang mengatakan “Hati itu seperti bejana, apa yang kamu isi ke
dalamnya, maka itulah isinya.” Jika kamu mengisinya dengan semua hal yang
baik, maka baiklah isinya dan jika kamu mengisinya dengan semua yang buruk,
maka buruklah isinya. Hal ini bersesuaian dengan penjelasan J. Wesley Brill,
dan saya juga berpikiran yang sama tentang itu. Ada kuasa kita yang bekerja di
dalam hati untuk mendengarkan sesuatu yang murni dan benar (sesuatu yang murni dan benar saya
pikir selalu berasal dari Ilahi) atau mungkin mengabaikannya. Kita menimbang-nimbang
dan menghakimi mana yang baik dan buruk kemudian ‘mengeksekusinya’ dalam
perlakuan.
Jika suara hati adalah suara Tuhan,
maka saya yakin semua manusia akan berlaku seperti Tuhan. Pada kenyataannya,
bahkan sesuatu yang paling jahat juga berasal dari hati manusia. Bagaimana rasa
sakit di hati menjadi akar pahit yang terus menjalar dan melingkupi sehingga,
kebencian, kemarahan, amarah, dendam, keserakahan, menghakimi, berniat jahat,
mengutuk dan hal buruk lainnya semakin kuat berteriak-teriak di dalam hati yang
terlingkupi kuatnya dan rapatnya akar-akar kepahitan yang menyusun diri sebagai
penghalang akan suatu suara kebenaran yang dari Tuhan. Pada saat seperti itu,
mungkin hati sama seperti sebuah ruangan kedap suara yang dinding-dindingnya dilapisi
oleh material atau bahan yang dapat menyerap gelombang suara sehingga, yang
terdengar hanya suara yang ada di dalam ruang itu saja (suara kebencian,
kemarahan, amarah, dendam, keserakahan, menghakimi, berniat jahat, mengutuk,
dan hal buruk lainnya). Di luar ruangan, tidak terdengar suara apa saja yang
ada dalam ruangan itu dan di dalam ruangan, tidak terdengar suara apa saja yang
ada di luar ruangan itu (termasuk suara Tuhan).
Dalam keadaan seperti yang digambarkan
di atas, maka perlu ada perlakuan “force”,
baik itu dari diri sendiri (terutama) maupun dibantu oleh orang lain, untuk
membuka pintu ruangan kedap suara itu, mengeluarkan suara bising keburukan dan
semua suara-suara yang tidak baik yang ada di dalamnya, kemudian mempersilahkan
dan mengijinkan sepenuhnya agar suara Tuhan masuk dan berkumandang di dalamnya
sehingga, suara hati menjadi murni. Jika demikian adanya maka semua perlakuan
kita dalam menjalani kehidupan adalah berdasarkan suara hati yang murni itu
yaitu suara hati yang tidak menyalahi nilai-nilai kebenaran.
Meskipun demikian, tidak ada yang
sempurna di muka bumi ini, jika dalam ilmu material, selalu ditemukan cacat di
dalam kristal maka selama hidup di bumi, sebagai manusia yang lemah sekaligus
hebat, maka kesempurnaan pastilah tidak ada. Namun tidak salah juga untuk
mencoba terus dan terus memperkuat diri untuk berkuasa mendengarkan suara
Tuhan, sehingga dalam menimbang-nimbang dan menghakimi pikiran sendiri selalu
berlandaskan nilai-nilai kebenaran yang kemudian akan menuntun pada perbuatan-perbuatan
kebaikan.
Manusia memang “hebat”,
bahkan ia diberi pilihan oleh penciptanya (Tuhan) untuk berkuasa mendengarkan
dan menuruti suara Tuhan atau untuk mengabaikannya.
Hati nurani tidak
akan pernah terjajah mayoritas, namun hati nurani bisa saja terjajah oleh diri
sendiri. Benarkah? Biarkan
suara hatimu yang bekerja. Salam damai.
Komentar
Posting Komentar